Discomojoyo
Marapu
Efek Rumah Kaca
The S.I.G.I.T
Tiap tetes darah manusia memberi hidup. Tiap hidup manusia memiliki jiwa. Tiap jiwa manusia memiliki rasa. Dalam tiap tetes rasa dalam diri manusia memiliki keinginan ataupun kerinduan akan seni dan kebebasan. disini coba diwadahi dan dibagikan tiap rasa akan kebebasan berekspresi dan berkarya sesuai dengan hati nurani.
Pada hari Selasa,19 mei 2009 ratusan orang di Yogyakarta melakukan laku bisu (laku budaya) untuk kesatuan bangsa. Semua orang yag terlibat merupakan gabungan warga Yogyakarta dan perwakilan dari FPUB, KKY, Aliansi Warga NU, Aliansi Buruh Yogyakarta, JC-ACC, Keluarga Besar Warga Tionghoa Yogyakarta, GKI, Walhi, PP, Nurul Ummahat, Kevikepan DIY, PHDI, MBI, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Kelompok Basis FPUB, Kawulo Ngayogyakarta, Sobyung, Kerohanian Sapta Darma, Yayasan Hondodento, FPPI, Masyarakat Lereng Merapi, Turgo Asri, SAGA,dan PPG.
Di awali di Alun-Alun Utara kemudian berjalan sepanjang malioboro
menuju Tugu
Melakukan ritual dan doa bersama di Tugu
mengakhiri rangkaian acara di Tugu
Waisak merupakan hari besar agama Budha. Pada Tahun ini tema perayaan Waisak yang diusung adalah Bersama Budha Damma Kita Bangun Keharmonisan Nusa dan Bangsa.
di Jawa Tengah selalu ada rangkaian acara peringatan Waisak yang menarik perhatian publik. acara ini selalu dimulai dari pelataran candi mendut.
Sesuai dengan tema Waisak tahun ini yaitu membangun keharmonisan nusa dan bangsa maka Garuda Indonesia yang merupakan simbol dari kesatuan bangsa pun dipersiapkan pada perayaan ini.
Para biksu dari Thailan pun hadir dengan membawa sejumlah gelas lilin. Kemudian akan dipasang di pelataran candi Borobudur dan akan dilakukan penerbangan balon-balon cahaya sebagai simbol perdamaian.
Perarakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dari candi Mendut menuju candi Borobudur dimeriahkan dengan visualisasi tokoh-tokoh dalam agama Budha.
Rangkaian acara pun di akhiri pada malam harinya di candi Borobudur.
(Peringatan 3 tahun Pramoedya A Toer)
Oleh : Theodorus Virdinantaka
Saat sang fajar pun belum menampakkan terangnya sudah tiba saya di Ibu kota negara ini pada 24 April 2009. Perjalanan kali ini menghadiri sebuah acara untuk mengenang tiga tahun meninggalnya seorang sastrawan besar bangsa ini yang juga dikenal dunia “Pramoedya Ananta Toer”. Langkah-langkah pertama di Jakarta menuntunku menuju kota tua Jakarta yang menyambut dengan lampu-lampunya menampakkan kokohnya gedung-gedung disana.
Terpesona dengan gedung-gedung disana membuatku terus berimajinasi seperti apakah kota ini saat itu. Imajinasi itu membawaku untuk terus mencoba mengabadikan tempat itu dengan lukisan cahaya melalui kameraku. Semakin jauh melangkah dan tibalah aku di area musium Fatahilah. Gedung besar nan megah,meriam yang tampak kokoh, dan sejumlah orang berolahraga menyambutku bersama dengan munculnya sang mentari yang menyajikan langit biru Jakarta di saat itu.
Siang hari di Jakarta ternyata sangatlah terik dan setiap insan manusia terus berlalu-lalang cepat tanpa henti seakan hari itu sisa hidupnya. Tak menyerah aku pada teriknya Jakarta, terus ku melangkah mencari tempat bernama Goethe Haus dimana peringatan akan Pramoedya Ananta Toer akan diadakan. Setelah terus barjalan maka tibalah di sebuah gedung dimana banyak orang telah berkumpul. Sebuah ruang yang besar nan indah dalam gedung itu telah dipersiapkan untuk acara ini. Acara pun segera dimulai, setiap orang tampak menanti tuk menyaksikan hal luar biasa apa yang akan disajikan dalam ruang megah ini. Alunan musik tradisional yang dimainkan oleh anak-anak muda mengawali acara ini. Merdunya alat-alat musik tradisional pun diikuti oleh bunyi gong yang menandakan acara ini resmi dibuka.Acara pun berlanjut, buku-buku karangan adik-adik Pramoedya diserahkan pada perwakilan dari Goethe Institute. Acara pertama pun dimulai dengan diskusi tentang buku yang berjudul “Bersama Mas Pram” ini. Dalam diskusi segalanya tampak meriah. Seluruh peserta menyimak dan angkat bicara. Namun sungguh disayangkan karena diskusi ini bersamaan dengan peluncuran buku maka banyak peserta yang belum membacanya. Diskusi pun berlangsung seputar pengalaman tiap individu bersama Pram. Tak banyak isi buku tersebut yang terungkap namun diskusi ini memberiku banyak pengetahuan baru tentang Pram. Diskusi ini memunculkan banyak kenangan tentang Pram.
Waktu pun berlalu seolah jam diputar lebih cepat dan sesi acara pun berganti. Happy Salma pun berpartisipasi membacakan sebagian karya Pram. Karya Pram terdengar keseluruh penjuru ruangan dalam suara Happy Salma, karya yang indah kini kembali terdengar. Karya itu pun membangkitkan kenangan. Muncullah di panggung beberapa teman Pram saat beliau harus mendekam di balik jeruji penjara. Kenangan bersama Pram terlantun dari setiap mulut mereka mengungkapkan sosok seorang Pramoedya. Sungguh indah hari itu mengetahui seorang Pram diluar buku-bukunya. Tahu aku tentang dirinya yang sangat berani. Tahu aku tentang dirinya yang dipandang pendiam. Tahu aku dalam penjara saat itu memiliki blok-blok kusus sesuai dengan isi tahanannya. Tahu aku tentang dirinya yang sudah membagikan dan meminta saran dari teman-temannya untuk buku-bukunya saat dalam pengasingan. Tahu aku bahwa ia sangat antusias hanya jika membahas soal sastra. Tahu aku bahwa olahraga favoritnya adalah jalan cepat. Tahu aku bahwa ia suka bermain catur dengan kawannya saat dibalik jeruji penjara.