Label

18 Mei 2009

Sepenggal Perjalanan ke Ibu Kota

Sepenggal Perjalanan ke Ibu Kota

(Peringatan 3 tahun Pramoedya A Toer)

Oleh : Theodorus Virdinantaka

Saat sang fajar pun belum menampakkan terangnya sudah tiba saya di Ibu kota negara ini pada 24 April 2009. Perjalanan kali ini menghadiri sebuah acara untuk mengenang tiga tahun meninggalnya seorang sastrawan besar bangsa ini yang juga dikenal dunia “Pramoedya Ananta Toer”. Langkah-langkah pertama di Jakarta menuntunku menuju kota tua Jakarta yang menyambut dengan lampu-lampunya menampakkan kokohnya gedung-gedung disana.


Terpesona dengan gedung-gedung disana membuatku terus berimajinasi seperti apakah kota ini saat itu. Imajinasi itu membawaku untuk terus mencoba mengabadikan tempat itu dengan lukisan cahaya melalui kameraku. Semakin jauh melangkah dan tibalah aku di area musium Fatahilah. Gedung besar nan megah,meriam yang tampak kokoh, dan sejumlah orang berolahraga menyambutku bersama dengan munculnya sang mentari yang menyajikan langit biru Jakarta di saat itu.

Siang hari di Jakarta ternyata sangatlah terik dan setiap insan manusia terus berlalu-lalang cepat tanpa henti seakan hari itu sisa hidupnya. Tak menyerah aku pada teriknya Jakarta, terus ku melangkah mencari tempat bernama Goethe Haus dimana peringatan akan Pramoedya Ananta Toer akan diadakan. Setelah terus barjalan maka tibalah di sebuah gedung dimana banyak orang telah berkumpul. Sebuah ruang yang besar nan indah dalam gedung itu telah dipersiapkan untuk acara ini.

Acara pun segera dimulai, setiap orang tampak menanti tuk menyaksikan hal luar biasa apa yang akan disajikan dalam ruang megah ini. Alunan musik tradisional yang dimainkan oleh anak-anak muda mengawali acara ini. Merdunya alat-alat musik tradisional pun diikuti oleh bunyi gong yang menandakan acara ini resmi dibuka.

Acara pun berlanjut, buku-buku karangan adik-adik Pramoedya diserahkan pada perwakilan dari Goethe Institute. Acara pertama pun dimulai dengan diskusi tentang buku yang berjudul “Bersama Mas Pram” ini. Dalam diskusi segalanya tampak meriah. Seluruh peserta menyimak dan angkat bicara. Namun sungguh disayangkan karena diskusi ini bersamaan dengan peluncuran buku maka banyak peserta yang belum membacanya. Diskusi pun berlangsung seputar pengalaman tiap individu bersama Pram. Tak banyak isi buku tersebut yang terungkap namun diskusi ini memberiku banyak pengetahuan baru tentang Pram. Diskusi ini memunculkan banyak kenangan tentang Pram.

Waktu pun berlalu seolah jam diputar lebih cepat dan sesi acara pun berganti. Happy Salma pun berpartisipasi membacakan sebagian karya Pram. Karya Pram terdengar keseluruh penjuru ruangan dalam suara Happy Salma, karya yang indah kini kembali terdengar. Karya itu pun membangkitkan kenangan. Muncullah di panggung beberapa teman Pram saat beliau harus mendekam di balik jeruji penjara. Kenangan bersama Pram terlantun dari setiap mulut mereka mengungkapkan sosok seorang Pramoedya. Sungguh indah hari itu mengetahui seorang Pram diluar buku-bukunya. Tahu aku tentang dirinya yang sangat berani. Tahu aku tentang dirinya yang dipandang pendiam. Tahu aku dalam penjara saat itu memiliki blok-blok kusus sesuai dengan isi tahanannya. Tahu aku tentang dirinya yang sudah membagikan dan meminta saran dari teman-temannya untuk buku-bukunya saat dalam pengasingan. Tahu aku bahwa ia sangat antusias hanya jika membahas soal sastra. Tahu aku bahwa olahraga favoritnya adalah jalan cepat. Tahu aku bahwa ia suka bermain catur dengan kawannya saat dibalik jeruji penjara.


Tiap detik berisi tentang Pram, tiap menit berisi hidup Pram, dalam jam itu penuh kenangan tentang Pram, dan momen itupun berakhir. Hari pun berganti malam dan acara pun mencapai saat dimana tiap jiwa seni muncul mengisi malam kesenian. Senandung tembang Jawa mengisi heningnya ruangan itu. Kata demi kata, bait demi bait dari tembang jawa itu terlantun dan disambung dengan tarian. Para penari menarikan tarian Jawa yang sudah dikemas secara lebih modern memberikan suasana yang sangat menarik. Tiap mata tak berhenti menatap tiap gerakan, tanganku pun menggenggam erat kamera tak bisa berhenti mengabadikan momen indah itu.
Jam terus berputar dan acara pun terus berlanjut. Kini saat seorang sastrawan tiba. Jonathan Raharjo seorang sastrawan muda tampil di panggung. Suaranya yang lantang menggelegar membacakan sebuah karya puisi tentang Pram untuk didengar seluruh hadirin dalam ruang itu. Kelantangan suaranya dan keindahan karya itu memperdaya para peserta. Acara pun berlanjut dan kali ini lantunan lagu nan indah dari piano seorang pianis kecil mengisi ruangan. Alunan piano itu disambut dengan nyanyian oleh seorang gadis yang memiliki suara yang sangat merdu. Paduan itu bergaung di seluruh ruangan dan membawa tiap orang untuk bertepuk tangan meriah tiap kali mereka selesai menyanyikan sebuah lagu. Irama yang indah itupun kembali membuat pengunjung terpesona.

Seolah tak ingin membiarkan para pengunjung berhenti tuk terpesona pada penampilan di panggung, anak – cucu Pram pun turut ambil bagian pada malam itu. Lantunan lagu dari anak –cucu Pram mengiringi pembacaan karya-karya Pram. Lantunan lagu yang merdu pun berpadu dengan karya Pram yang indah. Acara masih belum berakhir, teater buruh pun tampil membawakan naskah “Diujung Jurang PHK” karya mereka. Seolah tak mau kalah Ria Irawan pun muncul dan membacakan karya Pram dan disambung dengan pembacaan puisi karya Pram. Usai sudah rangkaian acara diiringi dengan lagu “Pramoedya Ananta Toer” karya Eros Jarot yang dinyanyikan Oleh paduan suara Universitas Kristen Indonesia. Sungguh kali ini merupakan perjalanan yang luar biasa bagiku untuk melihat dan menyimak berbagai hal yang juga luar biasa. Terimakasih pada semua pihak yag memberiku kesempatan ini.